KOMPAS.com - Sekilas tak ada yang aneh dari ruko-ruko yang berderet rapi di bilangan Jakarta Selatan itu. Layaknya pusat bisnis, sore itu hari itu puluhan orang datang dan pergi di kawasan tersebut. Sebagian dari mereka yang datang ke kompleks ruko ini menggunakan mobil pribadi dan bernampilan rapi.
Semua terlihat normal kecuali sebuah ruko yang lebih tertutup dibanding yang lain. Ruko ini dijaga seorang satpam berwajah sangar. Pengunjung biasanya akan menemukan dengan ceceran uang koin di halaman sebelum pintu masuk.
Banyak orang tidak akan mengira bila riko ini termasuk dalam daftar hotspot atau titik rawan penyebaran HIV melalui transaksi seksual. Tempat tersebut merupakan lokasi praktik "esek-esek" yang berkedok panti pijat.
Di tempat tersebut tersedia layanan pijat plus-plus yang dilakukan oleh pria. Belakangan diketahui, uang-uang koin yang tercecer di halamannya merupakan salah satu ritual pembawa hoki yang dilakukan oleh pengelola tempat.
Saat menyambanginya, aroma asap rokok tercium sangat pekat memenuhi ruangan berpendingin. Suasana santai pun dengan alunan musik pop yang terdengar cukup keras. Di meja depan, sejumlah pria dan seorang wanita tampak duduk santai menunggu pelanggan.
Sore itu Feri (bukan nama sebenarnya) sedang menantikan pelanggan. Pria usia dua puluhan ini adalah lelaki pekerja seks biasa melayani sesama jenis. Diakuinya bahwa tempatnya bekerja menyediakan layanan pijat "plus-plus" oleh pria. Sementara layanan pijat oleh wanita hanya tersedia tanpa layanan "plus-plus".
Feri yang bukan pemain baru lagi di industri "esek-esek" mengaku sudah mengetahui dengan risiko penularan HIV yang dihadapinya. Pelatihan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mendampinginya sedikit banyak memberinya informasi mengenai HIV dan infeksi menular seksual (IMS).
"Tapi mau bagaimana lagi, itulah risiko yang harus dihadapi", ujar Feri.
Feri pun menolak untuk gentar terhadap risiko. Sebaliknya, dia memilih untuk "main aman" yaitu dengan selalu menggunakan kondom setiap melayani pelanggannya. Bahkan untuk aktivitas seks oral sekalipun, Feri memilih untuk tetap menggunakan kondom.
"Itu sudah prinsip saya selalu pakai kondom. Saya juga pernah kehilangan pelanggan gara-gara prinsip saya itu. Tapi saya santai saja, soalnya sudah komitmen. Jadi sebelum melayani saya bilang dulu, harus pakai kondom," tandasnya.
Meski memegang prinsip selalu menggunakan kondom, Feri tak menampik fakta bahwa selama ini dia sangat jarang membeli kondom sendiri. Sehingga untuk mencukupi kebutuhan kondomnya, Feri mengandalkan LSM yang rutin memberikan stok pada panti pijat tempatnya bekerja.
Setiap bulan, Lembaga Swadaya M Yayasan Inter Medika (YIM) memang selalu memberikan stok kondom hasil donasi dari organisasi dunia yang peduli HIV/AIDS, seperti UNAIDS dan UNICEF. Kurang lebih 720 kondom dan pelumas rutin diberikan untuk panti pijat tempat Feri bekerja.
"Jumlah segitu cukup kok untuk sebulan, seringnya malah sisa. Paling hanya pelumasnya saja yang sering habis. Kalau habis kita biasa beli," jelasnya.
Jumlah stok kondom yang tidak pernah habis diakui Feri dikarenakan tidak semua pelanggan mau memakai kondom. Selain itu, tidak semua pekerja seks berprinsip sama dengannya.
Menurut keterangan Aldi dari YIM, pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom biasanya menawarkan untuk membayar lebih.
"Kalau sudah uang yang bicara, pekerja yang enggak punya prinsip ya akhirnya enggak pakai kondom juga. Itulah, semuanya dikendalikan uang," ucapnya, menyesal.
Aldi menjelaskan, pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom umumnya adalah pria lajang yang tidak memiliki istri dan anak. Sementara itu, pria yang sudah berkeluarga umumnya lebih memilih untuk menggunakan kondom.
Menurutnya, pria berkeluarga mungkin lebih khawatir dirinya tertular HIV atau IMS sehingga menularkannya lagi pada keluarganya. Namun keinginan untuk mendapatkan sensasi seks yang berbeda lah yang membuat mereka tetap berupaya menjajal layanan pijat plus-plus.
Berbeda dengan panti pijat plus-plus, sebuah tempat hiburan karaoke di kawawan yang sama tidak mendapatkan bantuan kondom dari LSM. Kendati demikian, pelanggan dinilai memiliki kesadaran yang lebih baik dalam penggunaan kondom.
Menurut keterangan dari seorang "mami" di kawasan tersebut, pelanggan di sana kebanyakan berasal dari Jepang dan Korea. "Karena dari luar kali ya, jadi kesadaran pakai kondom sudah tinggi. Mereka biasanya membawa kondom sendiri, meski kita juga nyediain," tuturnya Betty (bukan nama sebenarnya).
Walaupun disediakan kondom, namun Betty mengatakan, tidak ada praktik prostitusi di tempat tersebut. "Di sini hanya karaoke, kalau mau yang lebih, mereka bisa janjian sendiri di tempat lain," tegasnya.
Feri dan Betty hanyalah segelintir orang yang memilih menceburkan diri ke dalam dunia hitam. Selain mereka, masih banyak orang yang rela mengorbankan apapun yang mereka miliki untuk kesenangan dunia semata. Kepedulian mereka pada kesehatan pun masih disangsikan.
Tak heran, kesadaran mereka untuk melindungi diri dari jeratan HIV ataupun IMS dengan kondom juga masih rendah. Menurut data dari Kementerian Kesehatan tahun 2012, penggunaan kondom rutin di kalangan populasi kunci baru mencapai 35 persen.
Padahal data dari Kemenkes hingga Maret 2013, jumlah pengidap HIV di DKI Jakarta saja sudah mencapai 6.299 orang. Dan diperkirakan ada 346.267 warga di Jakarta yang rawan tertular.
"Kasus HIV dan AIDS ini seperti fenomena gunung es, yang diketahui sekarang mungkin sangat lebih kecil dari kenyataannya," ujar John Alubwaman, kepala monitoring, evaluasi, dan pengambangan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta.
Penggunaan kondom memang sedang digadang-gadang guna melindungi diri dari HIV dan IMS. Hal ini karena berhubungan seks merupakan salah satu cara transmisi virus yang paling utama. Dan kondom telah terbukti 97 persen efektif untuk mencegah transmisi virus.
Meski penggunaan kondom ditentang sejumlah pihak karena disebut-sebut sebagai melegalkan prostitusi, tapi ingat, kondom juga alat kesehatan. Stigma terhadap kondom yang identik dengan seks dan tabu memang perlu diubah.
Menurut Erlian Rista Aditya, aktivis LSM Family Health International (FHI), distribusi kondom ke tempat-tempat yang mudah dijangkau tidak meningkatkan seks di luar nikah. Sebaliknya, penyediaan kondom justru akan mengurangi tingkat penyebaran penyakit yang penularannya melalui hubungan seksual, seperti HIV dan IMS.
Prinsipnya untuk mengurangi tingkat penyebaran HIV dan IMS, jelas dia, adalah strategi ABC. A untuk abstinence yang berarti tidak berhubungan seks hingga menikah. B untuk be faithful yang berarti setia kepada pasangan setelah aktif secara seksual. Adapun C untuk condom yang berarti selalu menggunakan kondom saat berhubungan seks apabila tidak bisa berpegang pada prinsip A dan B.
Erlian menyimpulkan, jika mampu memposisikan kondom sebagai alat kesehatan, tidak mengkaitkan dengan legalisasi prostitusi dan tidak meningkatkan seks di luar nikah, maka kondom akan sangat berperan dalam menurunkan angka penularan HIV dan IMS.
Anda sedang membaca artikel tentang
Kondom di Mata Para Pekerja Seksual
Dengan url
http://givesthecoloroflife.blogspot.com/2013/09/kondom-di-mata-para-pekerja-seksual.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Kondom di Mata Para Pekerja Seksual
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Kondom di Mata Para Pekerja Seksual
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar