MEDAN, KOMPAS.com - Rencana keberangkatan yang dijadwalkan sejak pagi harus tertahan akibat hujan yang menggujur hampir seluruh Kota Medan. Usai ba'da zuhur, perjalanan baru dimulai. Bersama seorang teman dengan mengendarai sepeda motor kami melintasi jalan lintas Sumatera yang berdebu dan penuh sesak truk-truk besar.
Sepakat, kami mengambil jalur Pantai Labu di Kabupaten Deli Serdang menuju Dusun III, Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai). Melewati Sungai Ular yang airnya sedang sangat keruh, penanda batas antar kabupaten, kami tiba di kabupaten swasembada beras ini. Jalur pesisir kata penduduk setempat menamakan jalan yang kami lewati. Kanan-kiri mata di suguhi hamparan luas padi belum berbulir, hijau merata.
Pemandangan ala desa yang sangat jarang bisa dinikmati warga kota jika tak bertanggal merah, padahal tak mahal untuk mendapatkan semua ini. Walau sedikit harus keluar Kota Medan, jalanan yang hanya cukup dilalui dua mobil sudah memadai walau belum beraspal beton. Sampai di ujung jalan setelah jembatan samping masjid yang sedang dibangun, kami menyusuri jalan yang di kirinya adalah Sungai Nagalawan atau Sungai Nipah. Terlihat perahu-perahu nelayan sedang bersandar usai pulang melaut pagi tadi.
Laju motor terhenti tepat di depan warung, barisan pohon-pohon mangrove (bakau) menyambut kami petang itu. Sesekali terdengar suara ombak menghempas, laut hanya setengah batu dari kami yang rehat sejenak menikmati kopi.
Sutrisno, Ketua Kelompok Konservasi sekaligus Ketua Koperasi Muara Baimbai bersama anggota kelompok lainnya menyambut kami dengan ramah. "Ini dulu muara, abrasi membuatnya menjadi daratan. Mangrove rusak, tidak ada yang tahu manfaatnya selain menjadi kayu bakar. Tahun 1992 atas inisiatif sendiri dan bentuk peduli kutanami lagi. Bibitnya kuambil dari pohon yang sudah ada. Masyarakat pro dan kontra, aku dan beberapa teman harus berjuang merubah cara pandang dan budaya. Kami sempat didemo beberapa kali karena di anggap beda," katanya.
Setelah perjuangan panjang mengubah cara pandang dan budaya warga desa yang didominasi suku Banjar dan bermata pencarian nelayan tradisional ini, perjuangan Sutrisno akhirnya disambut baik banyak pihak. Tahun 2005 penanaman bibit mangrove pertama dibantu LSM JALA yang memiliki program konservasi, berlanjut setahun kemudian dengan Fakultas Pertanian USU dan Yayasan KEKAR Tebing Tinggi yang juga mengajarkan masyarakat khususnya kaum perempuan tentang peningkatan ekonomi keluarga lewat credit union (CU).
Terakhir, tahun 2009 bersama dengan Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Sumut kembali menghutankan kawasan hutan itu dengan menanami sekitar 20 ribu batang mangrove.
Kini Sutrisno dan anggota koperasinya mengelola 7 hektare kawasan hutan mangrove yang didominasi jenis Siapi-api hitam (Avicennia alba), Nipah (Nypa fruticans), Perepat (Sonneratia alba), Jeruju (Acantus ilicifolius), dan jenis lainnya yang tidak bisa diolah menjadi makanan tapi dimanfaatkan pohonnya untuk menahan abrasi dan erosi pantai.
"Konsepnya wisata mangrove berbasis edukasi. Lebih di utamakan untuk kepentingan penelitian mangrove kepada pelajar, mahasiswa dan wisatawan domestik maupun asing. Kita akan membuat homestay, penginapan, kantin dan fasilitas lain yang mendukung. Tinggal bayar pajak, peta kawasan dari Dishut, keluarlah izin prinsip. Rencananya awal 2013 akan kita buka resmi walau saat ini sudah banyak orang berdatangan ke sini," ucap Sutrisno di dampingi Acong, pengawas koperasi dan kepala keamanan kawasan wisata tersebut.
Dia mengajak kami berkeliling kawasan itu, melihat hutan bakau yang lebat dan beberapa spesies burung pantai yang sedang mencari makan. Beberapa perahu tertambat menambah cantik tempat ini. Sampai di jembatan gantung yang di bawahnya aliran sungai tempat perahu nelayan mondar-mandir. Setelah itu, pemandangan mata disuguhi laut lepas dengan tarian ombak kecilnya.
Sutrisno menunjuk satu areal yang katanya akan disediakan untuk camping ground. Lokasi yang bagus karena langsung menghadap laut. "Kita dapat bantuan bibit kelapa 500 batang, akan ditanam di pinggiran pantai. Harapannya selain menambah keragaman hayati juga menambah pendapatan ekonomi masyarakat selain dari mangrove," katanya.
Untuk bulan Desember, lanjutnya, lokasi ini sudah dipesan beberapa kelompok study mahasiswa dan beberapa instansi di kabupaten itu. Menyambut malam pergantian tahun, akan diadakan perayaan kecil yang akan dihadiri para anggota kelompok dan undangan. Januari 2013 rencananya akan diadakan Kenduri Laut yakni pesta para nelayan berbentuk ucapan syukur atas limpahan tangkapan dengan menyembelih beberapa ekor kambing yang kepalanya akan dibawa beramai-ramai dengan perahu ke tengah laut untuk di korbankan.
"Sudah tiga tahun belakangan ini (Kenduri Laut) tetap kita laksanakan. Kalau mau melihat, datanglah. Kita terbuka supaya semua orang tahu bahwa kita punya budaya yang layak untuk dikenal," ucapnya sumringah.
Menurut ayah dua anak dan sudah tak melaut lagi sejak menikah ini, tangkapan nelayan di daerahnya cukup banyak. Bahkan berpenghasilan lebih tinggi dibandingkan saat dia melaut dulu, padahal tak terlalu jauh ke tengah laut.
"Namanya nelayan tradisional jadi tak jauh-jauh mencari ikan. Paling satu atau dua mil tapi tangkapannya banyak, beda sama aku dulu. Mungkin karena di sini mangrove-nya banyak. Aku bilang sama anggota dan nelayan bahwa kita harus peduli dan menghargai bakau karena di setiap batangnya ada doa untuk kita berupa rezeki yang cukup. Jiwa konservasi inilah yang harus ditanamkan sehingga mangrove akan tetap terjaga," tutupnya.
Seiring gelap yang turun perlahan, usai makan malam bersama di rumah Sutrisno, kami pulang. Masih sempat istrinya memberikan buah tangan berupa kerupuk ikan tongkol dan berpesan agar datang kembali. Keramahan yang kami balas dengan ucapan terima kasih.